Oleh: Sutrisno (Ketua Umum HmI Cabang Pers.Bantaeng)
Thepost.id- Ramadhan merupakan bulan yang dalam tradisi Islam diyakini sebagai bulan yang penuh rahmat dari Allah SWT. Jika 11 bulan dalam hitungan hijriyah diandaikan sebagai bulan yang bersifat materiil, maka Bulan Ramadhan diandaikan sebagai bulan yang bersifat spiritual. Hal ini disebabkan karena pada bulan ramadhan manusia diberi peluang yang lebih besar untuk memperoleh pahala yang lebih besar dan pengampunan dosayang telah diperbuat dimasa lalu melalui ritus-ritus ibadah seperti sholat, zakat , tadarus dan dzikir.
Secara etimologi Dalam Kamus Bahasa Arab Mu’jam Al-Wasith (2011), diterangkan bahwa kata ramadhan berangkat dari akar kata ramidha – yarmadhu yang memiliki arti panas membakar. Dr. Moh. Sabri AR salah satu pemikir islam menjelaskan bahwa “Ramadhan sebagai bulan pembakaran dapat kita ilustrasikan seperti pemurnian emas yang untuk memisahkannya dengan logam yang lain harus dipanaskan dengan titik didih tertentu. Pun dengan ramadhan yang hadir sebagai bulan pembakaran agar manusia dapat memisahkan mana diri yang palsu dan mana diri yang asl, otentik atau diri yang fitrah”.
Salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh umat muslim dibulan ramdhan adalah menunaikan zakat fitrah. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam salah satu hadits nabi “Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan untuk zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, baik itu kepada budak, orang merdeka, orang laki-laki, orang perempuan, anak kecil serta orang dewasa yang dari kalangan muslim. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan zakat tersebut untuk ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk mengerjakan salat idul fitri” (HR Bukhari).
Sebagai salah satu syarat sah ibadah dibulan suci ramadhan, zakat fitrah tidak hanya memiliki dimensi spiritual semata melainkan juga memiliki dimensi sosial yang berkenaan dengan pembagian harta kekayaan seseorang kepada orang lain yang dianggap kurang mampu (fakir miskin). Zakat fitrah dianggap sebagai instrumen agama islam dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, baik keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Berkenaan dengan zakat sangat menarik jika kita mencoba menelaahnya lebih mendalam ditengah kondisi kebangsaan kita sekarang dimana jarak pemisah antara yang kaya dan yang miski semakin lebar. Memang betul bahwa konstruksi sosial ekonomi masyarakat terbagi menjadi dua bagian yaitu masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Menurut Ali Shariati salah seorang pemikir revolusioner asal iran menjelaskan konstruksi masyarakat islam dari zaman Nabi Adam, as hingga hari ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Musthadafin (masyarakat miskin atau tertindas) dan Mustakbirun (Masyarakat kaya yang pongah dan sombong atau penindas).
Hingga hari ini dalam sudut pandang ekonomi kita diperhadapkan dengan dua paradigm ekonomi yang mendominasi belahan dunia di abad ke 20 ini yaitu kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme merupakan system ekonomi yang bertumpu pada akumulasi modal dalam artian penumpukan kekayaan sbagaimana dotktrin yang diterangkan oleh baik oleh Adam Smith maupun Max Weber dalam buku Etika Protestan dan dan Spirit Kapitalisme. Sementara itu Karl Marx seorang filsuf ekonomi asal Jerman menawarkan konsep sosialismenya dengan semangat kolektif dan pembagian kekayaan yang merata. Akan tetapi kedua paradigma oleh sebagian kalangan dianggap telah gagal membebaskan manusia dari ketidak adilan sebab baik kapitalisme yang cenderung individualis maupun sosialisme dengan semangat kolektifnya nyatanya hanya membawa manusia pada konstruksi masyarakat yang diwarnai oleh penindasan.
Dalam hubungan sosial-ekonomi antar sesama manusia tidak boleh ada tindas-menindas atau “exploitation man by man”. Sistem ekonomi Islam menengahi antara sistem ekonomi individualisme kapitalis dan sistem ekonomi kolektifisme sosialis, dalam pengertian bahwa Islam tidak membenarkan ekstremitas sama juga individualisme maupun kolektifisme, namun mengakui sama juga hak-hak individual maupun kolektif.
Zakat menurut Nurcholish Madjid mengandung arti “kesucian” atau “pensucian”. Zakat mempunyai arti nyata sebagai semacam pajak pribadi mempunyai arti simbolis sebagai pernyataan niat suci kepada sesama manusia melalui kesucian pola kehidupan pribadi, khususnya berkenaan dengan harta benda yang memang sering menjadi sumber kekotoran jiwa. Melakukan zakat mengandung suatu isyarat tekad untuk menjalani kehidupan material yang bersih, dengan mematuhi ketentuan-ketentuan masyarakat berkenaan dengan yang boleh (membawa kebaikan bersama) dan apa yang tidak boleh (membawa kehancuran bersama). Islam, lanjut Cak Nur, menghendaki adanya pertautan kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat. Islam menghendaki kesejahteraan masyarakat dan kesejahteraan pribadi. Hal itu merupakan makna adanya hak-hak orang fakir, miskin, dan tidak mampu dalam harta orang-orang kaya. Karenanya, Islam mewajibkan orang-orang mampu untuk mengeluarkan zakat. Zakat merupakan pola ketika pemilik harta memiliki keprihatinan terhadap nasib dan keadaan orang lain, pola yang tidak terpusat pada egoisme dan kepentingan serta kesenangan pribadi. Pola tersebut dapat mengurangi sumber ketegangan sosial yang sangat berbahaya. Pola yang diupayakan adalah terbangunnya masyarakat berkeadilan sosial.
Zakat bukanlah ajaran Islam yang berdiri sendiri, tanpa ada keterkaitan dengan ajaran Islam lainnya. Paling tidak, dalam pandangan Cak Nur, zakat berkaitan erat dengan puasa dan shalat. Kaitan zakat dengan puasa menurut Cak Nur dikarenakan di akhir pelaksanaan ibadah puasa, menjelang Hari Raya Lebaran umat Islam dituntut untuk menunjukkan “empati” yang sedalam-dalamnya kepada sesama manusia, khususnya terhadap mereka yang kurang beruntung, yaitu kaum fakir miskin.
Tindakan simbolik membayar zakat (fithrah) merupakan tindakan yang bertujuan untuk memenuhi tuntutan fithrah manusia sendiri yang suci, yang lewat hati nurani fithrah itu selalu membisikkan nilai-nilai kemanusiaan yang tulus. Sikap hidup dengan rasa kemanusiaan yang tinggi inilah yang disebut sebagai “al-‘aqabah”, yakni “jalan yang sulit (tapi mulia dan benar)”, yaitu perjuangan membebaskan mereka yang terbelenggu, atau memperjuangkan nasib mereka di kala kesulitan, baik mereka yang menjadi yatim dari kalangan keluarga sendiri maupun orang miskin yang tidur berkalang tanah (kaum gelandangan), yang semuanya dilaksanakan dengan penuh rasa percaya kepada Allah, Sang Maha Kebenaran, dan dengan ketabahan hati serta rasa cinta kasih kepada sesama manusia”.
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa seluruh aktivitas ibadah dalam bulan suci ramadhan tidak hanya memiliki konsekuensi spiritual melainkan juga konsekuensi sosial. Semoga dibulan ramadhan kali ini kita semua diberkahi rahmatNya serta kita semua kembali pada otentisitas diri yang fitrah.
Selamat Hari Raya Idul Fitri