Thepost.id- Kebijakan pengembangan Energi Nuklir saat ini dipandang bukan lagi menjadi opsi terakhir. Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Pattidjaya mengatakan bahwa jangan lagi menempatkan energi nuklir sebagai opsi terakhir pengembangan energi seperti yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Hal itu disampaikan saat mengikuti pertemuan Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi VII DPR RI dengan BATAN dan Kemenristek di Auditorium Puspiptek, Tangerang Selatan, 10/4/2021.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Akmaluddin Rachim, mengatakan bahwa perlu mengkaji ulang terkait arah pengembangan energi nuklir dalam RUU EBT. Akmaluddin Rachim, menjelaskan bahwa kebijakan pengembangan energi nuklir saat ini mengemuka dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Hal itu merujuk diakomodasinya beberapa ketentuan mengenai pengembangan nuklir dalam RUU EBT. Pasal 6 RUU EBT menyebutkan bahwa sumber energi baru terdiri atas nuklir dan sumber energi baru lainnya. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1) mengatakan bahwa Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit daya nuklir.
“Pasal 7 ayat (2) RUU EBT mengatur bahwa pembangkit daya nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit panas nuklir. Ketentuan ini dan berbagai ketentuan lainnya dalam RUU EBT menimbulkan perbincangan sejumlah kalangan” ungkap Akmaluddin Rachim.
Akmaluddin Rachim, menyatakan bahwa timbulnya perdebatan soal pengaturan nuklir dalam RUU EBT ini dikarenakan beberapa hal. Pertama, terkait dengan tidak adanya urgensi dan penjelasan yang memadai dalam Naskah Akademik RUU EBT yang menggambarkan adanya kebutuhan mendesak dalam penggunaan energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik. Kedua, terkait dengan pengaturan soal nuklir yang cenderung akan ditarik dari pengaturan induknya, Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Ketiga, terkait dengan ketentuan yang telah dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang pada pokoknya menyebutkan pengembangan energi nuklir sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat.
Lebih lanjut, Akmaluddin Rachim, mengatakan beberapa permasalahan lain yang memicu perdebatan di masyarakat adalah terkait kesiapan dan kemampuan SDM serta teknologi yang dimiliki dalam mengelola pemanfaatan energi nuklir. Berikutnya juga terkait dengan problem keselamatan, keamanan dan mitigasinya. Hal yang tidak kalah penting juga karena terkait kebijakan global, yaitu prosedur penggunaan dan pengembangan energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik yang harus mengacu persetujuan dunia internasional dan berbagai ratifikasi konvensi internasional yang telah disahkan.
“Ada banyak syarat yang harus dipenuhi jika ingin mengembangkan energi nuklir sebagai sumber pembangkit lisrik. Hal yang paling banyak mendapat perhatian publik tentu terkait dengan dampak yang ditimbulkan bila terjadi kebocaran nuklir” kata Akmaluddin Rachim.
Oleh sebab itu, menurut Akmaluddin Rachim, pengaturan energi nuklir dalam RUU EBT ini sebaiknya dikaji ulang. Pemangku kepentingan perlu kebijaksanaan untuk mengambil sikap terkait kebijakan pengaturan dan arah pengembangan energi nuklir ke depannya di Indonesia. “Ada banyak prasyarat yang mesti dilengkapi dan memperhatikan kebutuhan serta kesiapan dalam penggunaan energi nuklir”, kata Akmal.
Akmaluddin Rachim menegaskan bahwa pengembangan dan pengelolaan energi nuklir ini seyogianya diatur khusus dalam undang-undang nuklir. Politik hukum terkait nuklir ini telah diatur sekian lama namun memang membutuhkan perubahan. Oleh sebab itu Pemerintah dan DPR sudah saatnya merevisi Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
“Rencana revisi UU Ketenaganukliran kini telah dipersiapkan. Naskah akademik telah dimatangkan. Segala aspek terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan sebaiknya diatur dalam UU Ketenaganukliran yang baru saja. Termasuk soal energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik”, tutur Akmaluddin Rachim.